Research
Gap
Oleh : Sri Rahayu
Research gap atau
kesenjangan penelitian menjadi hal penting yang dicari oleh peneliti, sebagai
bahan untuk menulis artikel, atau proposal penelitian. Terutama mahasiswa S2
dan S3, yang memang sangat membutuhkan ‘’kesenjangan penelitian’’ untuk menulis
tesis dan disertasi. Sedangkan untuk jenjang S1, adanya fenomena bisnis atau
data lapangan sudah cukup, belum wajib ada research gap, walaupun
diperbolehkan.
Apa yang dimaksud
dengan research gap? research gap adalah celah penelitian dan pengalaman atau
penelitian para peneliti sebelumnya (Zain, 2018). Pendapat lainnya Ferdinand, (2014)
research gap adalah perumusan masalah penelitian yang bersumber dari fenomena
gap, atau fenomena bisnis, sesuai data lapangan, juga research gap dan teori
gap.
Jadi research gap adalah kesenjangan penelitian yang
berasal dari perbedaan hasil penelitian terdahulu, konsep,
teori, data atau masalah dilapangan, yang menjadi celah bagi penelitian
selanjutnya.
Research gap ini
yang akan dirumuskan menjadi masalah penelitian, dan pertanyaan penelitian kemudian berusaha dicarikan
solusi untuk menutupi celah penelitian.
Jenis-jenis Research Gap
Research Gap terdiri dari
beberapa jenis, yaitu Theoritical gap, Conceptual gap, Empirical gap,
Methodogical gap, Practical-Knowledge gap, Evidence gap, Muller-Bloch & Kranz, 2015), Population gap (Robinson, et al.
2011). Bisa jadi masih ada jenis research gap lain, yang tidak dibahas dalam artikel ini. Penjelasan mengenai berbagai kesenjangan penelitian disajikan sebagai berikut.
Theoritical Gap
Theoritical Gap atau kesenjangan teori merupakan adanya
kelemahan, keterbatasan, atau celah yang belum terpenuhi dari suatu teori atau
kerangka kerja (Muller-Bloch & Kranz, 2015).
Pendapat lainnya theoritical
gap ada kaitannya dengan kesenjangan teori dalam riset terdahulu. Dengan kata
lain terdapat teori yang terkait dan relevan dengan riset yang dilakukan
sekarang, tetapi belum digunakan pada penelitian sebelumnya. Teori tersebut
sangat relevan dengan topik yang sedang diteliti sekarang. Bisa juga teori yang
digunakan saat ini, dinilai lebih baik dari teori yang digunakan sebelumnya
untuk topik penelitian yang sama, (Muller-Bloch & Kranz, 2015).
Penelitian yang
berdasarkan kesenjangan teori atau gap
theory, belum terlalu banyak dilakukan, karena membutuhkan kajian yang
sangat mendalam, dan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, dibanding jenis
kesenjangan lainnya. Selain itu dimungkinkan juga tidak semua peneliti memiliki
rasa percaya diri untuk mengkritisi sebuah teori yang sudah mapan.
Conceptual Gap
Kesenjangan konseptual
umumnya dikaitkan dengan konsep yang digunakan dalam suatu kajian. Adanya kesamaan
konsep yang diartikan atau didefinisikan secara berbeda, juga bisa menjadi
suatu kesenjangan (gap). Selain itu, bangunan konsep yang belum jelas dasar
teorinya, bisa menjadi gap yang perlu dicarikan solusinya.
Bagaimana cara mengatasi
adanya kesenjangan konseptual ini? Ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh
peneliti yaitu:
- Mengetahui tujuan konsep
tersebut dibangun
- Apabila terdapat
keraguan, atau ketidak jelasan konsep, maka boleh menggunakan konsep dari
bidang lain yang relevan atau memiliki kedekatan dengan konsep yang dikaji. Misalnya
konsep perilaku konsumen sangat relevan dan dekat dengan bidang kajian
psikologi. Maka bisa gunakan psikologi untuk mengatasi kesenjangan konsep mengenai
perilaku konsumen.
- Peneliti harus berani
memberikan justifikasi, jika masih terdapat keraguan, maka harus bisa memberikan
definisi baru yang lebih jelas.
- Bila perlu bangun konsep
baru jika belum tersedia, berdasarkan teori yang terkait. Bangunan konsep baru
ini disebut novelty, atau kebaruan penelitian.
Empirical Gap
Empirical gap berkaitan
dengan temuan riset terdahulu yang memerlukan verifikasi ulang atau evaluasi secara
empiris. Hal ini berarti belum ada riset sebelumnya yang melakukan verifikasi/evaluasi,
atau kajian empiris terhadap topik yang sedang diteliti sekarang, (Muller-Bloch & Kranz, 2015).
Empirical gap juga
berkaitan dengan adanya perbedaan hasil penelitian yang tidak konsisten (didukung
atau tidak didukung). Inkonsistensi hasil penelitian tersebut menjadi celah untuk
dilakukan penelitian selanjutnya, dengan mengajukan solusi berupa variabel
mediasi, moderasi atau a’aksen (Ferdinand, 2016). Sejalan dengan pendapat
tersebut, Wu & Zumbo, (2008), mengemukakan bahwa solusi dari penelitian
yang tidak konsisten (inkonsisten) adalah dengan memberikan variabel antara.
Variabel antara harus berdasarkan kajian penelitian sebelumnya atau teori yang
relevan dengan topik kajian.
Methodological Gap
Methodological Gap ini
bisa terjadi disebabkan oleh penggunaan berbagai metode, atau menggunakan
gabungan beberapa metode untuk mengkaji suatu topik pada penelitian yang sedang
dilakukan sekarang, sedangkan penelitian terdahulu hanya menggunakan satu
metode saja, (Muller-Bloch &
Kranz, 2014).
Penggunaan metode yang berbeda
tersebut disebabkan oleh adanya indikasi bahwa metode yang digunakan sebelumnya
dianggap kurang tepat dengan topik yang diteliti saat ini, maka digunakan metode
yang baru untuk menjawab masalah penelitian yang sama. Dengan kata lain
menggunakan satu metode atau gabungan berbagai metode (mix method) yang berbeda/baru
untuk memecahkan masalah penelitian yang sama.
Selain itu, ada strategi
lain yang bisa digunakan untuk mengisi methodological gap, yaitu membangun instrumen
baru, gunakan instrumen yang berbeda dengan menggunakan konsep yang sama, dan gunakan
sampel yang berbeda. Itulah beberapa cara untuk mengatasi methodological gap.
Practical–Knowledge Gap
Practical- knowledge gap,
terkait dengan interverensi atau pengaruh lingkungan yang menyebabkan sulit
untuk diaplikasikan , seperti pengaruh faktor budaya, agama, budaya organisasi,
kepemimpinan, dan personality.
Hal tersebut bisa juga
disebabkan oleh adanya perbedaan perilaku para professional dengan perilaku
yang sudah lazim digunakan oleh lingkungan. Perbedaan itu bisa menyebabkan
timbulnya konflik, oleh karenanya peneliti harus berusaha menentukan ruang
lingkup konflik dan menemukan alasan-alasan dibalik perilaku tersebut, pada
penelitian yang dilakukan (Muller-Bloch
& Kranz, 2015). Selain itu, bisa juga
menyiapkan suatu intervensi baru yang lebih baik, dari intervensi yang
digunakan sebelumnya.
Evidence gap
Evidence gap ini
berkaitan dengan temuan atau bukti yang ditemukan dalam riset yang sangat
bertentangan dengan kesimpulan atau konsep-konsep atau fakta umum yang sudah
diterima.
Sebagai contoh, pada
umumnya, konsumen yang memiliki kepercayaan terhadap suatu merek (brand trust),
maka akan loyal terhadap merek itu. Namun, ada temuan penelitian yang
membuktikan bahwa kepercayaan konsumen terhadap merek tidak selalu menjadi
alasan konsumen loyal kepada merek. Temuan tersebut sangat bertentangan dengan
temuan-temuan sebelumnya, oleh karenanya merupakan evidence gap yang memerlukan
jawaban dengan melakukan penelitian dimasa depan.
Population Gap
Population gap berkaitan
dengan populasi yang kurang diperhatikan atau tidak diperlakukan secara
cukup/seimbang dalam riset sebelumnya. Sebagai contoh, pada riset sebelumnya
yang diperhatikan hanya mahasiswa berjenis kelamin perempuan, sedangkan mahasiswa
laki-laki tidak diperhatikan sama sekali, (Robinson, et al, 2011). Contoh lainnya, hanya pedagang kecil saja yang
dijadikan populasi penelitian, sedangkan pedagang menengah dan atas tidak
dilibatkan. Masih banyak contoh lainnya, seperti kelompok usia, tingkat
pendapatan, wilayah, tingkat pendidikan dan lain-lain.
Berbagai research gaps
tersebut sangat bermanfaat bagi peneliti membangun suatu novelty atau kebaruan
penelitian, yang membedakan riset sekarang dengan riset-riset sebelumnya, bukan
hanya riset duplikasi (Sukur, 2020).
Menemukan research gap memang tidak mudah, kadang bikin megap-megap (lebaayyy..), butuh ketelitian dan membaca
secara mendalam berbagai literatur, sehingga membutuhkan banyak waktu, tenaga
dan pikiran, serta biaya. Waktu yang dibutuhkan bisa berbulan-bulan, untuk
menemukan research
gap ini, tak heran jika putus asa bisa mewarnai proses pencarian.
Proses
menemukan research
gap ini membutuhkan berbagai keterampilan agar prosesnya tidak memakan waktu
terlalu lama. Keterampilan itu antara lain paham bagaimana menemukan artikel
sesuai tema, kemampuan membaca literasi, mereviu artikel, mapping artikel,
kemampuan bahasa asing (Inggris khususnya) dan lain sebagainya. Berbagai
keterampilan itu tidak bisa dikuasai secara instan, harus banyak belajar dan
berlatih. Jam terbang memang sangat menentukan kecepatan dan ketepatan dalam
menemukan research gap, serta solusinya.
Bagi
teman-teman yang sedang berjuang menemukan research gap semoga diberikan semangat, dan kemudahan.
Semoga tulisan ini bermanfaat.Aamiin
Ferdinand, A. (2014). Metode Penelitian Manajemen edisi kelima. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Ferdinand, A. (2016). Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Müller-Bloch, C., & Kranz, J. (2015). A framework for rigorously identifying research gaps in qualitative literature reviews.
Robinson, K. A., Saldanha, I. J., & Mckoy, N. A. (2011). Development of a framework to identify research gaps from systematic reviews. Journal of clinical epidemiology, 64(12), 1325-1330.
Wu, A. D., & Zumbo, B. D. (2008). Understanding and using mediators and moderators. Social Indicators Research, 87(3), 367.